Thursday, October 23, 2014

Rinjani Trip Day 2 : Higher than Mahameru

21 Juni 2014

2.07 WITA
Bangun. Siap-siap summit attack.



Bangun. Bersiap. Sama sekali tak membiarkan diriku berpikir “memang kuat kalau berangkat sekarang? Aku sakit, aku mau istirahat.” Tidak, jangan ada keragu-raguan. Targetku sudah jelas, daripada mundur lebih baik mati mencoba (Well, mungkin tak benar-benar mati, karena kalau aku mati di sini kasihan yang lain, susah bawa jenazahnya ke bawah).

Aku lelah, tapi pikiran sudah menjernih dan aku siap. Aku menulis “aku lelah”, tapi itu hanya dugaan yang didasarkan pada logika dan perkiraan semata. Sesungguhnya, aku tak ingat bagaimana perasaanku saat itu. Pikiranku terfokus pada dan hanya pada satu hal: Puncak. Dan bagaimana cara meraihnya.

Baik, itu jadi dua hal.

Setelah memasukkan apa yang kupikir diperlukan – gaiter, kamera, air minum 1 liter, obat-obatan termasuk lip gloss, jurnal, cokelat, kacamata hitam – dan memasang lensa kontak, aku melangkah keluar tenda. Langit hitam agak tak berbintang menyambut, agak mengecewakan. Bintangnya ada, tapi yang tertangkap mata hanya sedikit. Sayang sekali. Aku mendambakan view Langit Selatan 360 derajat versi 2.6 kilo mdpl. The Starry Night-nya Vincent van Gogh dalam 3 dimensi.

Kehidupan di penjuru Plawangan Sembalun mulai merayap bangun. Suara-suara bernada serius terdengar dari tenda-tenda yang berpendar warna-warni, saat penghuninya menyalakan senter. Ada yang sibuk menghangatkan air, dan ada yang sibuk menghangatkan diri dengan air tersebut. Yang pertama adalah porter dan yang keduanya adalah si penyewa porter. Aku dan Ibu tak termasuk salah satu di antara itu.

Selagi tim puncak mulai berkumpul dan menjabarkan rencana, aku terududk di flysheet yang dijadikan alas duduk di tanah, mendengarkan. Puncak tak terlihat dari sini. Ya iyalah, masih malam buta begini kok. Dan meskipun hari terang, tujuan kami itu terhalang punggungan yang harus kita susuri nanti.

Angin malam bertiup. Pohon-pohon yang tak seberapa lebatnya itu seperti membisikkan, “selamat jalan”. Kuhela napas segar. Berkat perapian portabel ibu, yaitu kompor gas kecil yang dinyalakan, bagian dalam tenda telah sukses diubah menjadi sauna mini. Di ketinggian 2.6 kilometer di atas permukaan laut, dengan suhu mencapai 10 derajat celcius, punggungku basah berkeringat.

2.30 WITA
Berangkat summit attack


Berbondong-bondong orang mendaki, seperti antrian BBM saja. Etape pertama ini adalah tahap untuk sampai ke punggungan gunung, menanjak mengarungi abu vulkanik dan... kerikil vulkanik? Abu dan kerikil ini bagai fluida yang tidak viskos; tanpa banyak gaya mereka menggeleser ke bawah. Alhasil, para pendaki kesulitan berjalan. Maju lima langkah, turun lagi dua-tiga langkah, dan begitu seterusnya.
Barangkali mereka yang pernah mencapai Mahameru, puncak Gunung Semeru, tahu rasanya. 300 meter terakhir dimana untuk maju kita pasti mundur, terpeleset. Nah, bedanya di Rinjani, dari 1 kilometer yang harus ditempuh untuk summit attack, ada lebih banyak acara terpeleset dibanding Semeru.
Tim mulai terpecah. Anggota-anggota kami memang beragam dan berasas bhinneka tunggal ika, ada yang 'kuat' dan ada yang 'sangat kuat' :) Aku? Aku selalu berada di tengah, di antara dua kutub ekstrem, terengah sendirian. Yah, di depanku adalah bule dari Perancis, dan di belakangku entah dari Malaysia atau Singapura atau Thailand atau Vietnam. Entahlah.
Akhirnya punggungan tercapai juga. Apa pendakian sudah selesai? Oh, tidak! Berikutnya memang MUNGKIN tak securam tadi, tapi summit attack baru dimulai. Benar-benar baru dimulai. Hurrah! Post ini bakal panjang.

Titik-titik cahaya para pendaki dari kejauhan

Karena jalan yang bisa dilalui semakin lebar, semakin tampak pula perbedaan kekuatan setiap orang. Beberapa kali aku disalip, dan beberapa kali aku menyalip. Barisan tak lagi rapat seperti tadi, seperti antrian sembako tadi. Kini tak berupa seperti untaian, tapi telah terfragmentasi menjadi titik-titik yang tersebar sepanjang medan. Seperti dalam kromatografi, mereka yang cepat berjalan semakin di depan dan yang agak sulit makin tertinggal di belakang.

Air yang kubawa : 1 liter. Makanan : nol. Sarung tangan : tidak ada. Entah kenapa, sarung tangan Solomon seharga 100k + itu tertinggal, dan jariku kaku kedinginan. Kuusahakan menulis saat beristirahat sejenak sambil berlindung di balik batu...

4.18 WITA
Sudah menyusuri punggungan.
Aku sendirian. Pergelangan kaki kanan mulai sakit.


… dan kembali berjalan.

“Aku sendirian”. Tak ada seorangpun terlihat di bukit di depanku, atau di belakangku.
Seandainya saat aku berjalan:
  • salju mendadak turun ikut dipermainkan angin,
  • suatu halaman buku notes muncul di layar lalu tertulis “I am alone”, dan
  • kamera pindah scene,
maka aku adalah Walter si juru foto dari The Secret Life of Walter Mitty, yang berkeliling setengah dunia gara-gara lelucon konyol seorang fotografer bernama Sean, yang mendaki pegunungan Himalaya demi sebuah negatif film.

Tapi tak ada salju, maupun leopard salju. Hanya abu. Abu yang begitu ringan hingga membumbung menyelimuti kaki pada setiap langkah. Kerikil-kerikil kecil yang entah bagaimana bisa menemukan jalan masuk ke sepatu. Gaiter kukeluarkan dari tas dan kupakai dengan petunjuk dari Oom Adam, salah satu anggota tim, yang kebetulan melintas saat aku berhenti.
   
    5.04 WITA
    Masih gelap. Menuju bukit entah keberapa.


    'Dibalik bukit masih ada bukit' berlaku juga kali ini. Tapi karena vegetasi yang hanya berupa semak Edelweiss, pemandangan 360 derajat dapat terlihat. Hey-ho! Kita berada di jalur tertinggi di Pulau Lombok. Jikalau saat ini hari tidak gelap, maka laut akan terlihat di satu sisi, dan Danau Segara Anak di sisi lain. Tapi sekarang, yang terlihat hanya tanah berabu di bawah kaki, serta titik cahaya senter pendaki lain di kejauhan. Kelap-kelipnya mirip bintang yang jatuh ke tanah, seperti ketombe yang jatuh ke pundak. (Catatan: aku tak berketombe).

    Sudah hampir 4 jam aku mendaki. Menurut standar porter, seharusnya aku sudah hampir sampai di puncak. Sesuatu berbisik bahwa aku masih jauh. Fine! Aku sudah sampai di sini, aku akan sampai puncak walau baru sampai sore nanti. Jumlah bukit yang dilewati sudah tak dihitung lagi. Beban di punggung sudah tak bisa dirasa lagi.

    Langit telah berubah menjadi ungu tua, lalu kebiruan. Akhirnya terlihat seberkas sinar dari arah timur, sinar yang kemudian terpantul di permukaan laut.


Sebenarnya agak berat bagiku untuk menghentikan langkah yang sudah teratur dan bergerak harmonik sederhana (?), untuk mengambil kamera SLR yang terbungkus aman dalam tas di dalam tas. Sungguh, dalam keadaan setengah membeku begini, lebih nyaman jika terus bergerak – terus berjalan. Suhu di puncak bisa mencapai 5 derajat... atau 8.. atau 4.. ah, sumber mana sih yang benar?!

Tapi toh aku berhenti juga, berkutat dengan jari yang kaku membuka simpul dan zipper, dan mengambil gambar.
    Masya Allah, begitu benar-benar memperhatikan pemandangan di hadapanku, shivers ran down my spines. Mendadak sebuah perasaan yang sulit dijabarkan datang bergulung. Di sana, di sana ada garis pantai yang untuk mencapainya, kita harus berkendara hingga beberapa jam. Tapi dari sini, tempat yang jauh terlihat jelas... seperti dekat saja.
Laut di kejauhan
   
    06.25 WITA
    Hari sudah terang. Laut sudah kelihatan.


    Matahari sudah menampakkan dirinya – hari akan menjadi panas dengan cepat. Aku tahu itu. Tadi kubilang aku akan sampai puncak meskipun menghabiskan waktu sampai sore, dan tekadku memang begitu, tapi aku segan dipanggang di tempat terbuka dan berdebu ini. Won't do that if I can help it. Aku melangkah lebih cepat, diselingi lari-lari kecil kalau kuat.
"Beberapa ratus meter terakhir"...

    Beberapa ratus meter terakhir hingga puncak adalah yang paling menyiksa. Ilusi optik yang paling nyata. Apa yang terlihat dekat ternyata butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Dan meski sudah merasa mendaki mati-matian, menghabiskan napas hingga harus berhenti untuk mencarinya lagi, ternyata kita baru maju beberapa meter. Tapi, tidak ada satu orangpun yang menyerah di titik ini. Karena... lihat! Tepat di depan hidungmu, itulah Puncak Rinjani! 'Siksaan' itu tak ada apa-apanya ketika yang didamba sudah di depan mata. Aku berlari-lari, tertawa sendiri ketika kehabisan napas, ditertawai porter karena tertawa.

    Menjengkelkan. Para pendaki ada yang sudah turun kembali. Menjengkelkan karena membuatku sadar betapa leletnya daku, menjengkelkan karena debu yang ikut menggeleser ke bawah berterbangan kayak karung tepung beras pecah dijatuhkan dari lantai 10, dan menjengkelkan karena aku tahu aku tak bisa jengkel karena hal tersebut adalah hal “yah, mau gimana lagi?”. Kalau di rumah, jalan yang kering disemproti air agar tak terlalu berdebu. Tapi kalau ada keran air di sini, itu keajaiban dunia ke-8.
"Beberapa ratus meter terakhir" dari arah puncak. Kelihatan datar, tapi, yah...


    Bagi para pendaki, apapun kebangsaannya, antara satu dan lainnya tidaklah asing. Di sini, di tempat terpencil dan terhitung berbahaya ini, kami adalah sesama manusia yang berserah diri pada kekuatan alam. Kami merencanakan, dan kami berusaha, tapi sisanya terserah alam dan Tuhan semata. Kalau ada yang mendapat kesulitan, siapapun itu, hanya pendaki di sekitar itulah yang bisa dijadikan tempat meminta. Kapanpun, siapapun bisa jadi penolong maupun yang ditolong. Kami mungkin tak saling bicara karena, sama seperti warna kulit kami, bahasa kami berbeda-beda. Tapi semangat tidak memerlukan kata-kata, begitu pula rasa peduli.
    Semangat dan kepedulian adalah senyum, adalah anggukan ramah, adalah “are you okay?” sederhana setiap melihat siapapun terduduk keletihan. Jauh di atas sini... I found a place where I feel accepted.
Aku dan Ibu.

    Singkat cerita, karena post ini belum jadi-jadi setelah 4 minggu...

    08.00 WITA
    Sampai di puncak.

    Ibu sudah tiba sejak matahari terbit, tapi belum puas berfoto-foto karena kamera DSLR aku yang membawa. Pun ia belum minum, dan air aku yang membawa.
    Berdiri di sini, aku memandang jauh ke bawah dengan kaki bergetar. Baru dua hari lalu aku sampai di pulau yang sama sekali asing dan kini aku berdiri di tempat tertingginya. Bahkan lebih tinggi dari Puncak Mahameru, yang makin tenar sejak 5 cm itu.

Sungguh... sesuatu sekali.

Mataku berair, kubuang ingus keras-keras. Aku memang terharu, sangat bersyukur. Tapi barusan itu karena perjalanan tadi. Kebul. Aku menangis dan pilek pasir.

    Pelajaran no. 2: Jangan lupa bawa masker, syal, baff, apapun kalau tak ingin kayak orang cengeng.
    … atau terkena gangguan pernapasan akut. Aku terkena bronkhitis tepat setelah pulang dari sini (memang ada hubungannya?)



    Kasihan sekali bule-bule itu. Hidungnya besar-besar, begitu pula lubangnya.
    Bisa tersedak pasir mungkin mereka.
    Aaaah, salah fokus.

       
Bule 
"I love mom"... he says :3
Sejam kuhabiskan berisitrahat dan berfoto-foto. Sayang sekali adikku Izzan tak ikut ke puncak. Bisa menyesal seumur hidup dia (kenyataannya ia memang menyesal – sampai mengangis). Dari kejauhan, terlihat jalan cobaan terakhir. Bila mataku memang benar – keduanya kering sekali, contact lens memang tak bisa menggantikan kornea pemberian Tuhan – maka keempat sosok di sana adalah tim dari Malaysia itu. Segera aku turun untuk menyapa dan menyemangati mereka.



    09.04 WITA
    Mulai turun dari puncak


Salam 2 jari. Sekitaran hari milad Jokowi, katanya. Ibu dan Tante Chitra. Puncak di latar belakang
    Niatku memang turun kembali ke base camp, tapi yang ada adalah descending 10 langkah lalu duduk. 5 langkah turun lalu duduk. Dan terus duduk sampai matahari terasa membakar. Tapi sudahlah, perset – astaghfirullah, jangan sompral, Nan – eh, peduli amat dengan kulit jadi hitam. Turun gunung seharusnya mudah, tapi pemandangan yang luar biasa indah dan agung ini membuatnya menjadi berat. Berat untuk ditinggalkan. Sulit untuk beranjak pergi.
   
Setengah perjalanan turun.

    Ketika akhirnya sampai kembali di base camp, semua pendaki berselubung debu. Tidak ada yang berjalan turun; semuanya berlari, menggelosor seakan bermain ice skating. Salah; sand skating mungkin lebih tepat.
Berjalan turun. Rinjani style.

Dan ketika turun dari punggungan gunung, bagian terjal yang pertama dihadapi tadi, jalan yang curam plus pasir yang amat tebal merupakan kabar gembira untuk kita semua :) Untuk 15 menit yang singkat, aku agak mengerti bagaimana rasanya earth bending.  Dengan sedikit gerakan serta manuver, bumi membawaku kembali ke bawah... full speed.

    11.03 WITA
    Sampai kembali ke Camp.


    Hal pertama yang harusnya dilakukan adalah membongkar tenda, dan mengepak kembali barang-barang, siap untuk perjalanan menuju Danau Segara Anakan.

    Hal pertama yang kami, tim puncak, lakukan adalah berbaring dan tidur. Atau niatnya begitu.

    Hanya beberapa dari seluruh tim yang mendaki hingga puncak. Sisanya, termasuk anak-anak kecil, menunggu di Plawangan Sembalun, base camp kami. Alhasil, setengah anggota lelah dan ingin istirahat, setengah lagi lelah menunggu dan ingin langsung berangkat. Tim terbagi menjadi dua. Sebagian melanjutkan perjalanan, sebagian masih tinggal bermalas-malasan. Hingga...

    16.35 WITA
    Selesai packing di Camp.


    … ketika akhirnya mereka siap berangkat, hari sudah sore.
    Tak banyak yang bisa kudeskripsikan dalam perjalanan menuruni kawah Gunung Rinjani ini, kecuali kata-kata ini : terjal. Batu. 4 jam. Itu adalah medan yang ditempuh, apa yang harus diwaspadai, dan lama perjalanan sesuai standar SNI... eh, porter.

    Seiring dengan menuruni – lebih tepat melompat turun – menuju Segara Anak, semakin hancur hatiku. Terjal. Terjal sekali rasanya. Dan jauh. Dari jauh, kelihatannya 1 jam saja bisa sampai. Tapi tidak, itu adalah salah satu ilusi kebesaran alam lagi. Yang kukhawatirkan hanya lutut kananku, yang sakit sejak summit attack tadi. Sudah kubebat, tapi rasa sakitnya makin hebat.
    Lebay. Tidak separah itu sih.

    Semakin banyak kami turun, semakin banyak pula yang harus didaki besok karena kami akan menyebrangi kawah ini. Kami naik untuk turun; dan kini kami turun untuk naik lagi. Aku tak pernah merasa selelah hati ini. Well, yang harus dihadapi esok biarlah dihadapi esok. Dan lagipula, jalan yang akan dilalui adalah rute Segara Anak – Plawangan Sendaru, jalan yang lain. Nah, mari berharap.

    Hari mulai gelap, dan kami bahkan belum mendekati jalan setapak mendatar yang menuju ke Danau, melainkan masih di bagian berbatu yang serupa tebing.

    Aku masih muda, tubuhku masih sehat secara keseluruhan. Dibandingkan dengan para alumni ITB angkatan 80-an, yang harus berjalan dengan bantuan dua pole agar tak terlalu membebani kaki, dan agak kelebihan berat badan, aku masih lebih beruntung. Tentu saja dengan pengecualian Ibu. Dengan keberuntungan itu, aku memutuskan untuk ngebut; apapun untuk tiba sebelum gelap.
   
    18.00 WITA
    Sampai di pinggiran Segara Anak


Beautiful Segara Anak :) Ini fajar esoknya, sih.



Plawangan Sembalun → Segara Anak : 4 jam (menurut porter)
Plawangan Sembalun → Segara Anak : 1.5 jam versi ngebut


Aku tiba bersamaan dengan Izzan, yang memang sudah berangkat duluan, tapi terkejar karena mereka amat menikmati proses. Mereka berjalan dengan santai, mengobrol dan bercanda, sedangkan aku berlari seakan dikejar badak. Kenapa harus badak? Karena itu merupakan ketidakmungkinan yang harusnya lucu. Tidak ada badak di Indonesia Tengah, apalagi di tempat yang jalan menuju ke sananya harus dilalui seakan sedang menari balet – meniti hati-hati.

Tenda ditemukan, tas diapihkan, dan Ibu tiba setelah melakukan perjalanan ekstra karena mengira aku tersesat. Aku sudah meninggalkan tanda di tanah dan batang pohon ketika mulai jalan lebih dulu, tapi rupanya aku tak seberbakat itu dalam hal tanda-menandai. Aku bukan pendaki ahli, indian, maupun anjing. Maafkan, Ibu.

Seharusnya pinggiran Segara Anak adalah tempat yang nyaman untuk camping. Nyaman seperti hotel berbintang seribu. Pemandangan yang indah, tempat yang terlindung, dan air yang berlimpah. Tapi sayang, amat sangat sayang sekali, kenyataannya tidak begitu. Setidaknya untuk faktor yang terakhir.

Tidak tersedia MCK yang memadai di sini.

Di Plawangan hal ini dapat dimengerti; punggungan gunung itu jauh dari sumber air. Tapi mengapa, tepat di pinggir danau – danau itu sumber air, kalau kurang jelas – toilet-toilet hanya berupa lubang dalam bilik semen yang jumlahnya tiga buah itu? Lubang, tidak lebih dan tidak kurang, yang ketika kita melihat ke dalamnya kita bisa melihat sejarah para pendahulu kita. Peninggalan dari apa yang dimakan para pendaki sebelumnya, lebih tepat.
Lapisan-lapisan feses yang terbuang, beserta beberapa persen yang meleset masuk lubang.

Eugh.

Keadaan pinggiran danau yang berbatasan dengan camping ground juga tak lebih baik. Sisa-sisa makanan yang terbuang, basi, busuk, mengotori danau yang luar biasa indah ini. Tidak ada tempat mencuci yang layak... Layak bagi danau ini, maksudnya. Tidak mengotori dan tidak menodai. Aku berjalan cukup jauh untuk mencari tempat berwudhu yang bersih; tidak ketemu.
Pinggiran Segara Anak


Demikian beberapa paradoks yang kutemui selama perjalanan hari ini.

Ketika mendaki, ada saat-saat dimana napas tidak terengah-engah –  tapi aku tak bisa bernapas; tercekik.
Ada saat-saat ketika kakiku tidak terasa lelah – tapi aku tak bisa melangkah.
Seakan menyadarkan bahwa kekuatan manusia itu tak ada apa-apanya.

Lalu ada saat-saat ketika hanya dengan memalingkan kepala beberapa derajat, suatu keagungan yang melambangkan kesucian berganti rasa jijik dan kenistaan. Maksudnya, aku ada di dekat toilet bilik-lubang-feses itu.

Betapa ingin kuceritakan kisah Rinjani ini, agar orang-orang tahu...

No comments:

Post a Comment